Disini kami ( saya berdua teman ) mencoba menampilkan proses penerjemahan tulis dan diharapkan tanggapan dari pembaca semua.
Oleh :
Lusi Susilawati
Novalinda
Abstrak
Proses penerjemahan terbagi dua yaitu proses penerjemahan tulis atau translation dan proses penerjemahan lisan atau interpretation. Proses penerjemahan tulis juga terbagi dua yaitu proses penerjemahan luas (proyek penerjemahan) yang untuk diterbitkan dan proses penerjemahan sempit (penerjemahan biasa). Pada proses penerjemahan terdapat beberapa langkah yang harus dilalui oleh seorang penerjemah untuk dapat menghasilkan sebuah terjemahan yang baik. Langkah-langkah itu adalah persiapan, analisis, pengalihan, konsep awal, pengerjaan kembali konsep awal, pengujian terjemahan, penyempurnaan terjemahan dan persiapan naskah untuk penerbit.
1. Pendahuluan
Kegiatan penerjemahan telah dilakukan 3000 tahun SM seperti diungkap oleh Storig (dalam New Mark ; 1981:3) “The first traces translation dated from 3000 BC during the Egyptian old kingdom in the area of 1st cataract, elephanic, where inscriptions in two languages have been found”. www.translations.com. Dalam menerjemah, seorang penerjemah akan melalui sebuah proses penerjemahan. Proses penerjemahan adalah proses pengalihan informasi yang ada dalam bahasa sumber (Bsu) kepada bahasa sasaran (Bsa). Nababan, 1999 p. 24 mengatakan bahwa “Proses penerjemahan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada saat dia mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran”. Maka dari itu penerjemah di tuntut untuk mengetahui bentuk apa yang akan dikomunikasikan, serta menentukan alat komunikasi dan bagaimana alat komunikasi tersebut akan disampaikan. Menjadi seorang penerjemah yang baik tidaklah mudah, secara sederhana saja dalam proses penerjemahan seorang penerjemah perlu menguasai struktur dari Bsu dan Bsa, budaya dari Bsu dan Bsa serta topik yang terdapat dalam Bsu atau materi naskah yang akan diterjemahkan. Meskipun secara umum akan sukar menerjemahkan sebuah teks apabila seorang penerjemah tidak mempunyai latar belakang tentang topik tersebut karena banyak istilah yang dalam ilmu tertentu mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengertian umum, namun hal ini dapat diatasi dengan cara berkonsultasi dengan ahli dalam bidang tersebut dan juga dengan menggunakan kamus istilah yang sekarang ini dengan mudah bisa didapatkan.
Suatu hasil penerjemahan dapat dianggap berhasil apabila pesan, pikiran dan gagasan dari konsep yang ada dalam Bsu dapat disampaikan dalam Bsa secara utuh. Tidak kalah pentingnya diperlukan sarana bantuan seperti kamus, sumber informasi di internet, dan milis para penerjemah.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa proses penerjemahan itu ada dua macam yaitu proses penerjemahan tulis dan proses penerjemahan lisan. Proses penerjemahan tulis terbagi atas dua macam, yang pertama adalah penerjemahan luas atau proyek penerjemahan seperti penerjemahkan buku teks, novel, kumpulan cerita, kumpulan puisi dan lainnya dengan hasil akhir berupa buku yang diterbitkan oleh penerbit. Yang kedua adalah penerjemahan sempit seperti penerjemahan dalam bentuk paragraf atau kalimat yang digunakan untuk kalangan terbatas seperti untuk praktek dikelas. Penerjemahan tulis mencakup buku dan bahan non buku seperti brosur, leaflet, iklan, dokumen, saham, subtitle film, bahan pelatihan, artikel majalah, profil perusahaan, laporan tahunan, dan lain-lain. Sedangkan penerjemahan lisan biasa dilakukan di gedung pengadilan, melalui sarana komunikasi lain (telepon, telekonferensi, dan internet), dan diajang pertemuan formal dan non formal seperti seminar, rapat yang mengunakan multi bahasa, dan lain-lain. Nababan, 1999 mengatakan bahwa “Kedua proses ini dilakukan dalam konteks yang berbeda-beda meskipun kedua istilah ini terfokus pada pengalihan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pada umumnya istilah Translation mengacu pada pengalihan pesan tertulis dan lisan. Namun jika kedua istilah tersebut dibahas secara bersamaan maka istilah translation menunjuk pada pengalihan pesan tertulis dan istilah interpretation mengacu hannya pada pengalihan pesan lisan.”
2. Proses Penerjemahan Tulis
Menurut Nida (1975:80) Penerjemahan merupakan proses yang kompleks yang harus melalui tiga tahap yaitu :
1. Analysis (analisis)
Dalam menganalisa sebuah teks, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membaca teks yang akan diterjemahkan dengan tujuan untuk mengetahui apa yang ingin disampaikan oleh si penulis asli dan untuk mengidentifikasi kata-kata sulit dan istilah teknis dari kalimat kompleks. Sebagai contoh garis bawahi kata-kata yang sulit lalu carilah padanan katanya di kamus.
Menurut Nida and Taber 1982, “ there are three major steps in analysis: (I) determining the meaningful relationships between the words and combinations of words, (2) the referentials meaning of the words and special combiantions of words, (3) the connotative meaning i.e how the user of the language react, whether positively or negatively to the words and combinations of them.” Jadi yang pertama kali perlu dianalisa adalah makna gramatikal nya, karena bisa jadi kalimat dengan konstruksi gramatikal yang sama mempunyai arti yang berbeda atau sebaliknya, kalimat dengan konstruksi gramatikal berbeda mempunyai arti yang sama. Seperti contoh yang juga terdapat dalam bukunya Nida, prase “the God of peace” bukan berarti kedamaian Tuhan tetapi Tuhan yang menyebabkan adanya kedamaian. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan tempat munculnya sebuah kata atau konteks karena bisa saja kata yang sama berbeda artinya bila muncul dalam konteks yang berbeda, seperti contoh He picked up a stone dan they will stone him. Kedua kata stone pada kelimat tersebut berbeda artinya karena muncul pada konteks yang berbeda.
2. Transfer (pengalihan)
Setelah mengetahui padanan kata yang tepat, mulailah kegiatan menerjemahkan. Dalam proses pengalihan pesan terdapat beberapa masalah yang perlu diperhatikan oleh seorang penerjemah seperti:
a. Too much knowledge of the subject matter
Penerjemah yang mempunyai terlalu banyak pengetahuan tentang topik yang akan dia terjemahkan bisa mengakibatkan tidak bagusnya sebuah terjemahan. Penerjemah kadang lupa pada konsumennya sehingga dia menerjemahkan teks Bsu sesuai dengan pengetahuan yang dia punya yang belum tentu dapat dipahami oleh pembacanya.
b. Taking translationese for granted
Translationese is an error due to ignorance or cerelessness which is common when the TL is not the translator’s language of habitual use, and not uncommon when it is. www.google.com/translationese
Translationese dianggap berterima oleh kaum terpelajar sebagai media komunikasi karena mereka mengerti Bsu sedangkan bagi mereka yang tidak mengerti bahasa sumber akan mengalami kesulitan untuk memahami karena bahasa terjemahannya banyak menggunakan istilah Bsu.
c. Insecurity about one’s own language
Dalam hal ini seorang penerjemah bisa terjebak dalam dua posisi yaitu pertama terkadang dia memposisikan dirinya untuk berpihak kepada Bsu sehingga dia meminjam semua istilah yang ada dalam Bsu seperti kata, idiom dan gaya bahasa, bahkan bentuk gramatikalnya. Kedua dia terlalu berpihak pada Bsa sehingga semua istilah, kata, idiom seakan dipaksakan ditulis dalam Bsa.
d. A desire to preserve the mystery of language
Ada kepercayaan bahwa apabila semua kata diterjemahkan maka misteri dari sebuah kata tersebut akan hilang, jadinya seorang penerjemah cendrung tetap menggunakan istilah dalam Bsu untuk menjaga agar misteri dari sebuah kata tetap terjaga.
e. Wrong theological presupposition
Adanya kecendrungan untuk mengatakan bahwa ajaran sebuah agama A lebih murni dari pada agama B karena agama B dokumennya sudah hasil rekayasa dari manusia.
f. Ignorance of the nature of translation
Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa itu adalah kata, jadi dalam menerjemah mereka hanya memindahkan kata dalam Bahasa A ke dalam kata pada Bahasa B, padahal yang seperti itu salah. Seharusnya seorang penerjemah harus memperhatikan makna kata sebagai bagian dari sebuah kalimat dan paragraf sehingga keaslian makna kata tidak berkurang. (Nida and Taber, 1982 pp 99-102)
Pada tahap pengalihan ini lah seorang penerjemah memutuskan ideologi mana yang akan dia gunakan ( foreignization or domestication), metode apa yang akan dipakai dan teknik apa yang akan diaplikasikan dengan mempertimbangkan tiga aspek yaitu Accuracy (keakuratan), Natularness (kewajaran) dan Readibility (keterbacaan)
3. Restructuring (penyusunan).
Pada tahap penyusunan ini menurut Nida ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
a. The varieties of language or of styles which may be desirable
b. The essential components and characteristics of these various style
c. The techniques may be employed in producing the type of style desired
Berasal dari daerah yang berbeda, budaya yang berbeda, lingkungan dan status sosial serta latar belakang pengetahuan yang berbeda menyebabkan terjadinya variasi bahasa. Mereka yang berasal dari status sosial yang tinggi cendrung menggunakan kosa kata yang sulit untuk dimengerti oleh masyarakat umum, sedangkan mereka yang berasal dari status sosial yang menengah cendrung menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti. Disinilah letak peran penting seorang penerjemah sebagai pembuat keputusan untuk memilih kata (padanan) yang tepat dalam menerjemah sehingga terjemahannya dapat dimengerti oleh konsumen yang membutuhkannya. Hoed, 2006 mengatakan ada dua masalah pokok yang dihadapi penerjemah Indonesia ketika menerjemah yaitu, terdapat perbedaan yang hakiki antara Bahasa Indonesia dan Bahasa asing, demikian pula budayanya dan, penerjemah tidak menguasai secara benar-benar bahasa asing tersebut sebagai bagian dari budayanya. Sebagai contoh di Indonesia kita punya istilah kebaya, batik, delman dan lain sebagainya sedangkan dalam Bahasa Inggris misalnya mereka tidak mempunyai padanan kata yang tepat. Untuk itu seorang penerjemah perlu memutuskan untuk menggunakan teknik yang tepat untuk digunakan dalam menerjemahkan istilah budaya tersebut sehingga pembaca dapat mengerti maksudnya. Seperti yang dikatakan Baker, 1992 “ Difference kind of non-equivalence required different strategies, some very straightforward, other more involve and difficult to handle”.
Beberapa penerjemah menyatakan bahwa tujuan dari restructuring adalah ;
• Mengecek penggunaan istilah-istilah teknis secara konsisten
• Meyakinkan struktur kalimat terjemahan dengan tata bahasa Indonesia
• Mempertimbangkan apakah kalimat-kalimat kompleks seharusnya ditulis kembali menjadi kalimat yang lebih sederhana agar mudah dimengerti.
Sedangkan menurut Menurut Larson (1984:477), proses penerjemahan meliputi beberapa langkah berikut:
1. Preparation ( Persiapan)
Pada tahap awal penerjemahan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh seorang penerjemah seperti materi yang akan diterjemahkan, kamus Bsu dan kamus istilah, alat-alat tulis serta keperluan lainnya. Yang tidak kalah pentingnya adalah sorang penerjemah sebaiknya sudah terbiasa menulis dalam Bsa. Larson, 1991 mengatakan bahwa “Good writers make good translator. They are used to putting the forms of the language on paper” “Penulis yang baik dapat menjadi penerjemah yang baik, karena ia terbiasa meletakkan bentuk bahasa dalam kertas”. Dengan terbiasa menulis seorang penerjemah akan dengan mudah menuliskan pesan yang telah didapat dari Bsu ke dalam Bsa.
2. Analysis ( Analisis )
Pada tahap analisis ini yang harus dilakukan seorang penerjemah adalah membaca teks Bsu secara keseluruhan, apabila diperlukan dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan agar pesan yang ada dalam Bsu dapat ditangkap secara utuh dan konteksnya pun dapat dipahami dengan baik. Kemudian seorang penerjemah juga harus mengetahui siapa konsumen dari terjemahannya dan untuk keperluan apa digunakan. Disamping itu dengan membaca seorang penerjemah akan dapat memahami gaya bahasa penulisnya. Cara lain untuk memahami gaya penulisan seseorang bisa juga dengan mengetahui latar belakang si penulis dengan membaca biografinya.
Larson, 1999 : 478 mengatakan bahwa “As the translator reads through the text, he should note down any lexical items which seem to be key words. These will be words which are crucial to an understanding the text”. “Sewaktu membaca teks itu dari awal sampai akhir, penerjemah harus mencatat unsur leksikal yang kelihatannya seperti kata-kata kunci yaitu kata-kata penting untuk pengertian teks itu”. Dengan mencatat kata-kata kunci dan kata-kata sulit yang muncul dalam sebuah teks dan mencari padanan yang tepat akan memudahkan penerjemah dalam melakukan pekerjaannya karena dalam sebuah teks mungkin saja kata yang sama muncul lebih dari satu kali, jadi penerjemah bisa merujuk kepada padanan kata yang telah ditemukannya diawal untuk kata yang sama selanjutnya.
Selanjutnya menurut Bell, 1989 P. 45-54 dalam menganalisa teks Bsu ada tiga hal yang perlu dianalisa, yang pertama adalah analisa sintaksis yaitu dengan menentukan MOOD system, theme dan rheme dari sebuah kalimat. Yang kedua adalah analisa semantik yaitu mencari makna dari hubungan antar kata, hubungan yang logis antara partisipan dengan proses dan bagaimana bahasa mengungkapkan pengalaman dan logika. Yang terakhir adalah analisa pragmatik yaitu yang berhubungan dengan analisis domain (the field covered by the text; the role it is playing in the communicative activity; what the clause is for; what the sender intended to convey and its communicative value), Tenor (the relationship with the receiver which the sender indicates through the choices made in the text), and mode ( the medium selected for realizing the text). Dengan kata lain analisa pragmatik yaitu memahami makna berdasarkan konteks nya.
Sejalan dengan itu Nababan, 1999 p. 26 mengatakan bahwa “Analisa kebahasaan yang dilakukan terhadap teks bahasa menyentuh berbagai tataran, seperti tataran kalimat, klausa, frasa dan kata. Analisis pada tataran-tataran itu dianggap perlu karena pada hakekatnya setiap teks dibentuk dari tataran-tataran tersebut.” Jadi untuk mendapatkan terjemahan yang baik semua aspek kebahasaannya harus dianalisa, mulai dari kata, frase, clausa, kalimat, makna semantik, makna pragmatik, dan lain sebagainya. Seorang penerjemah juga diperbolehkan memotong kalimat yang terlalu panjang dengan menjadikannya beberapa kalimat atau merekonstruksi kalimat yang dirasa terlalu berbelit-belit agar lebih mudah dimengerti selama makna yang terdapat dalam teks Bsu tidak ada hilang atau berubah.
3. Transfer ( Pengalihan )
Setelah melakukan analisa pada teks Bsu dan memahami makna yang terdapat dalam Bsu maka langkah selanjutnya yang dilakukan penerjemah adalah mengalihkan pesan atau makna yang terdapat dalam teks Bsu kedalam Bsa dengan padanan kata yang tepat.
4. Initial draft ( Konsep awal )
Konsep awal ini biasanya dimulai dari tingkat paragraf karena apabila suatu konsep paragraf sudah dipahami maka penerjemahan akan mudah dilakukan. Sewaktu membuat konsep awal tidak tertutup kemungkinan akan adanya gerakan maju mundur dari teks Bsu ke Bsa. Penerjemah tidak boleh mengabaikan bentuk teks Bsu sewaktu mengalihkan makna karena ada kalanya padanan yang terbaik dalam Bsa sama dengan bentuk teks Bsu atau sebaliknya. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh penerjemah adalah tingkat keterbacaan terjemahannya oleh konsumen, karena pada umumnya konsumen berasal dari latar belakang ilmu pengetahuan dan tingkat pendidikan yang berbeda.
5. Reworking the initial draft ( Pengerjaan kembali konsep awal )
Larson 1984, p 482 mengatakan bahwa “ The reworking of an initial draft should not be undertaken until a larger section is completed. It is best if the draft has been left untouched for a week or two. In this way the translator comes with a fresh look at it and is able to be more objective in his evaluation and reworking of it. The reworking of the initial draft includes checking for naturalness and for accuracy”.
Menurut Larson akan lebih baik bila pengerjaan kembali konsep awal dilakukan setelah konsep awal tidak disentuh selama satu atau dua minggu, Hal ini bertujuan agar penerjemah bisa mengerjakannya kembali dengan pandangan yang baru dan lebih objektif dalam mengevaluasi pekerjaan yang telah dilakukannya. Pengerjaan kembali ini juga memeriksa dua hal yaitu kewajaran mencakup (bentuk gramatikal yang salah atau konstruksi yang tidak jelas, bagian yang terlalu berbelit-belit, bagian yang urutannya salah atau frase yang janggal, bagian yang penghubungnya salah atau tidak lancar, adanya pertentangan kolokasi, makna yang kedengaran asing dan gaya dan ketepatan dari makna). Dan ketepatan yang mencakup (sesuatu yang dihilangkan, sesuatu yang ditambahkan, makna yang berbeda dan makna yang nihil dalam artian bentuk yang digunakan tidak menyampaikan makna sama sekali).
6. Test the translation ( Pengujian terjemahan )
Untuk menguji terjemahan hendaknya dilihat keakuratan terjemahan tersebut, dapat dipahami, adanya kesepadanan kata dan lain sebagainya. Penerjemah juga bisa meminta tolong kepada yang lebih ahli untuk membaca terjemahannya (proof reader) sebelum diserahkan ke penerbit. Kritik, masukan dan saran dari pembaca sangat berpengaruh terhadap baik atau tidaknya sebuah terjemahan.
Larson, 1984 p 489-501 mengatakan bahwa untuk menguji sebuah terjemahan ada 5 langkah yang harus dilakukan yaitu,
a. Comparison with the source language (Perbandingan dengan teks Bsu)
Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk memeriksa apakah padanan informasi dalam teks Bsu sudah dimasukkan semua kedalam Bsa, tidak ada yang tertinggal, dihilangkan, ditambahkan atau yang berbeda.
b. Back-translation (Terjemahan Balik)
Penerjemahan balik ini hendaknya dilakukan dengan meminta orang lain yang juga menguasai teks Bsu dan teks Bsa. Orang ini diminta untuk menulis dalam teks Bsu apa yang didapatnya dari Bsa tanpa memperlihatkan kepadanya teks Bsu yang diterjemahkan oleh penerjemah.
c. Comprehension test (tes pemahaman)
Tujuan dari tes ini adalah untuk melihat apakah terjemahan itu dapat dimengerti secara tepat oleh konsumen yang sebelumnya tidak pernah melihat terjemahan itu. Pengujian ini hendaknya dilakukan oleh orang yang lancar menggunakan bahasa sasaran. Apabila terjemahan diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat, maka hendaknya orang tua, muda, setengah tua, orang terpelajar dimasukkan menjadi responden. Sendainya terjemahan ini diperuntukan bagi kalangan tertentu saja maka yang jadi respondennya juga kalangan tertentu tersebut.
d. Naturalness test ( Test kewajaran )
Tes ini bertujuan untuk melihat apakah bentuk terjemahan itu wajar dan apakah gaya bahasanya juga sesuai dengna bahasa sasaran. Pengujian ini hendaknya dilakukan oleh mereka yang mengerti Bsu dan Bsa, juga mereka yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang prinsip penerjemahan. Pemeriksa yang sudah terlatih akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat untuk sebuah terjemahan.
e. Readibility test (Test keterbacaan)
Keterbacaan teks merupakan seberapa mudahnya sebuah teks dipahami oleh pembaca. Tes ini bisa dilakukan dengan meminta seseorang membaca terjemahan ini dengan bersuara. Sewaktu orang itu membaca, penguji harus memperhatikan dan mencatat bagian mana yang membuat pembaca ragu-ragu, atau berhenti dan membaca ulang dan tidak mengerti mengapa teks itu mengatakan demikian. Pembaca yang terpelajar akan dapat dengan mudah memahami struktur kalimat yang agak rumit sedangkan pembaca yang kurang terpelajar akan kesulitan. Inilah alasan kenapa tes keterbacaan sangat perlu dilakukan.
Menurut Nababan 1992, p.62 keterbacaan sebuah teks dipengaruihi oleh beberapa hal yaitu, penggunaan kata-kata baru, penggunaan kata asing dan daerah, penggunaan kata taksa, penggunaan kalimat bahasa asing, penggunan kalimat taksa, penggunaan kalimat tak lengkap, panjang rata-rata kalimat, penggunaan kalimat kompleks dan alur pikiran yang tidak runtut dan tidak logis.
f. Consistency test (Test konsistensi )
Tes konsistensi digunakan untuk menguji sebuah terjemahan yang pengerjaannya memakan waktu yang lama. Bisa saja penerjemah tidak konsisten dalam menggunakan padanan sebuah istilah. Kalaupun harus menggunakan padanan kata yang berbeda seorang penerjemah harus tau alasannya mengapa menggunakan istilah yang berbeda tersebut.
7. Polishing the initial draft ( Penyempurnaan terjemahan )
Setelah selesai melakukan tes terhadap sebuah terjemahan maka langkah selanjutnya adalah menulis kembali pada terjemahan tersebut dengan memperbaiki semua kesalahan-kesalahan (berupa padanan kata, gaya bahasa, pemilihan kata, makna yang kurang tepat, penulisan tanda baca dan lain sebagainya) yang terdapat pada terjemahan ketika dilakukan pengujian.
8. Preparation to the publisher ( Persiapan naskah untuk penerbit)
Naskah terjemahan yang telah selesai ditulis kembali dengan rapi sesuai dengan kaidah penulisan yang benar dapat diserahkan kepenerbit untuk diterbitkan.
3. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa seorang penerjemah perlu memahami proses penerjemahan agar dapat melakukan langkah-langkah penting dalam melakukan tugasnya mengingat seorang penerjemah adalah seorang pembuat keputusan dalam menetapkan istilah yang sepadan untuk sebuah kata. Proses penerjemahan tersebut diungkapkan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli. Namun pada intinya sama yaitu dimulai dengan cara menganalisa (membaca, memahami) untuk dapat menangkap pesan didalamnya, pengalihan isi, makna dan pesan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, dan proses yang terakhir adalah penyelarasan. Apabila tahapan-tahapan tersebut telah selesai dilakukan, maka dia telah menghasilkan sebuah terjemahan.
Daftar Pustaka
Baker, M. 1992. In other Words: A course Book in Translation. London and New York. Routledge
Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating : Theory and Practice. London: Longman
Hoed, Benny H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta. Pustaka Jaya
Larson, Mildred L. 1984. Meaning-Based Translation. A Guide to Cross Language Equivalence. University Press of America, Inc.
Munday, Jeremy. 2001. Introducing Translation Studies. Theories and Application. London: Routledge
Nababan, M.R. 1999. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Nida and Taber. 1982. The Theory and Practice of Translation. Leiden. E.J Brill.
Newmark, Peter. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall
www.translation.com
www.google.com/translationese
Tidak ada komentar:
Posting Komentar